CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Monday, November 1, 2010

Menghias Hati Dengan Menangis



“Andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, nescaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (Bukhari dan Muslim)

Indahnya hidup dengan celupan iman. Saat itulah terasa bahwa dunia bukan segala-galanya. Ada yang jauh lebih besar dari yang ada di depan mata. Semuanya teramat kecil dibanding dengan balasan dan siksa Allah swt.

Menyadari bahwa dosa diri tak akan terpikul di pundak orang lain

Siapa pun kita, jangan pernah berpikir bahwa dosa-dosa yang telah dilakukan akan terpikul di pundak orang lain. Siapa pun. Pemimpinkah, tokoh yang punya banyak pengikutkah, orang kayakah. Semua kebaikan dan keburukan akan kembali ke pelakunya.

Maha Benar Allah dengan firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 164. “…Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”

Lalu, pernahkah kita menghitung-hitung dosa yang telah kita lakukan. Seberapa banyak dan besar dosa-dosa itu. Jangan-jangan, hitungannya tak beda dengan jumlah nikmat Allah yang kita terima. Atau bahkan, jauh lebih banyak lagi. Masihkah kita merasa aman dengan mutu diri seperti itu. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun mampu menjamin bahwa esok kita belum berpisah dengan dunia. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun bisa yakin bahwa esok ia masih bisa beramal. Belumkah tersadar kalau kelak masing-masing kita sibuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan.

Menyadari bahwa diri teramat hina di hadapan Yang Maha Agung

Di antara keindahan iman adalah anugerah pemahaman bahwa kita begitu hina di hadapan Allah swt. Saat itulah, seorang hamba menemukan jati diri yang sebenarnya. Ia datang ke dunia ini tanpa membawa apa-apa. Dan akan kembali dengan selembar kain putih. Itu pun karena jasa baik orang lain. Apa yang kita dapatkan pun tak lebih dari anugerah Allah yang tersalur lewat lingkungan.

Kita pandai karena orang tua menyekolah kita. Seperi itulah sunnatullah yang menjadi kelaziman bagi setiap orang tua. Kekayaan yang kita peroleh bisa berasal dari warisan orang tua atau karena berkah lingkungan yang lagi-lagi Allah titipkan buat kita. Kita begitu faqir di hadapan Allah swt. Seperti itulah Allah nyatakan dalam surah Faathir ayat 15 sampai 17, “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.”

Menyadari bahwa syurga tak akan termasuki hanya dengan amal yang sedikit

Mungkin, pernah terangan-angan dalam benak kita bahwa sudah menjadi kemestian kalau Allah swt. akan memasukkan kita kedalam syurga. Fikiran itu mengalir lantaran merasa diri telah begitu banyak beramal. Siang malam, tak henti-hentinya kita menunaikan ibadah. “Pasti, pasti saya akan masuk syurga,” begitulah keyakinan diri itu muncul karena melihat amal diri sudah lebih dari cukup.

Namun, ketika perbandingan nilai dilayangkan jauh ke generasi sahabat Rasul, kita akan melihat pemandangan lain. Bahawa, para generasi sekaliber sahabat pun tidak pernah aman kalau mereka pasti masuk syurga. Dan seperti itulah dasar pijakan mereka ketika ada order-order baru yang diperintahkan Rasulullah.

Begitulah ketika turun perintah hijrah. Mereka menatap segala bayang-bayang suram soal sanak keluarga yang ditinggal, harta yang pasti akan disita, dengan satu harapan: Allah pasti akan memberikan balasan yang terbaik. Dan itu adalah pilihan yang tak boleh disia-siakan. Begitu pun ketika secara tidak disengaja, Allah mempertemukan mereka dengan pasukan yang tiga kali lebih banyak dalam daerah yang bernama Badar. Dan taruhan saat itu bukan hal nyawa. Lagi-lagi, semua itu mereka tempuh demi menyongsong investasi besar, meraih syurga.

Begitulah Allah menggambarkan mereka dalam surah Al-baqarah ayat 214. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”

Menyadari bahwa azab Allah teramat pedih

Apa yang bisa kita bayangkan ketika suatu ketika semua manusia berkumpul dalam tempat luas yang tak seorang pun punya hak istimewa kecuali dengan izin Allah. Jangankan hak istimewa, pakaian pun tak ada. Yang jelas dalam benak manusia saat itu cuma pada dua pilihan: syurga atau neraka. Di dua tempat itulah pilihan akhir nasib seorang anak manusia.

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. 80: 34-37)

Mulailah bayang-bayang pedihnya siksa neraka tergambar jelas. Kematian di dunia cuma sekali. Sementara, di neraka orang tidak pernah mati. Selamanya merasakan pedihnya siksa. Terus, dan selamanya. Seperti apa siksa neraka, Rasulullah saw pernah menggambarkan sebuah contoh siksa yang paling ringan.

“Sesungguhnya seringan-ringan siksa penghuni neraka pada hari kiamat ialah seseorang yang di bawah kedua tumitnya diletakkan dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya. Sedangkan ia berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang lebih berat siksaannya daripada itu, padahal itu adalah siksaan yang paling ringan bagi penghuni neraka.” (Bukhari dan Muslim)

Belum saatnyakah kita menangis di hadapan Allah. Atau jangan-jangan, hati kita sudah teramat keras untuk tersentuh dengan kekuasaan Allah yang teramat jelas di hadapan kita.

Imam Ghazali pernah memberi nasihat :
"Jika seseorang hamba Allah tidak lagi mudah menangis kerana takut dengan kekuasaan Allah... Justeru menangislah kerana ketidakmampuan itu..."

Aku Mahu Tinggalkan Dunia Dalam Sujudku.


SUATU malam ketika aku sedang nyenyak tidur tiba-tiba aku melihat seolah-olah ayahanda menjelma di hadapanku. Perasaan kasih pada ayahanda tidak dapat ditahan-tahankan lagi, lalu aku berteriak: "Ayah... sudah lama tiada berita dari langit sejak ayahanda tiada!"

Waktu itu aku terlalu rindu setelah beberapa hari ayahanda wafat. Ketika aku sedang memanggil-manggil ayahanda, muncul pula para malaikat bersaf-saf lantas menarik tanganku, membawa aku naik ke langit.

Apabila aku mendongak temampaklah istana-istana indah yang dikelilingi taman-taman pawana serta anak-anak sungai mengalir saujana mata memandang.
Keindahan istana demi istana dan taman demi taman berjajaran di hadapan mata begitu mengasyikkan. Dari celahan pintu-pintu istana tersebut menjelmalah para bidadari seolah-olah patung bernyawa yang sangat jelita, sentiasa tersenyum dan bergelak ketawa. Bidadari itu berkata kepadaku: "Selamat datang wahai makhluk yang diciptakan syurga untuknya, dan kerana ayahanda kamu, kami diciptakan..."

Malaikat itu terus membawa aku naik ke langit seterusnya sehingga memasuki sebuah tempat yang dipenuhi istana-istana yang lebih indah daripada sebelumnya. Cahayanya bergemerlapan.

Dalam setiap istana itu terdapat rumah-rumah berisi pelbagai perhiasan indah yang belum pernah dilihat mata, tidak terdengar di telinga dan tidak pernah tersirat di hati. Penghuni istana-istana ini sentiasa bergembira, bergelak ketawa dan ceria. Di istana itu terdapat pelbagai kain sutera nipis dan tebal. Juga terdapat selimut-selimut daripada sutera dengan pelbagai warna dan corak.

Di atas rak-rak kelihatan pelbagai jenis gelas diperbuat daripada emas dan perak yang sungguh menawan. Pelbagai jenis hidangan makanan, buah-buahan serta air minuman yang lazat dan enak tersedia untuk dimakan. Pemandangan di taman-taman pula sungguh memukau dengan aliran sungai yang warnanya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu dan baunya lebih semerbak daripada kesturi.

Aku yang kehairanan dan takjub lantas bertanya: "Untuk siapakah tempat-tempat indah sebegini dicipta? Apa nama sungai-sungai yang harum mewangi ini?"
Malaikat-malaikat itu menjawab:
"Tempat ini adalah Firdaus, tempat paling tinggi dan tiada lagi syurga di atasnya. Syurga Firdaus ini khas untuk singgahsana ayahandamu, semua rasul, nabi, para syuhada dan syiddiqun yang dicintai Allah. Sungai ini bernama al-Kautsar yang telah Allah janjikan kepada ayahandamu."
Aku bertanya lagi: "Di mana ayahandaku?"

Malaikat-malaikat menjawab: "Sebentar lagi ayahandamu akan datang menjemputmu!"
Tidak lama kemudian aku ternampak istana-istana yang sangat putih dan permaidani yang tersangat indah. Tiba-tiba aku sudah berada di atas permaidani yang terbentang di atas singgahsana. Aku ternampak ayahandaku sedang berehat di atas singgahsana tersebut dikelilingi sekelompok orang yang tidak dikenali. Ayahanda menarik tanganku dan mencium dahiku berkali-kali.

Ayahanda berkata: "Selamat datang wahai puteriku!"
Lalu ayahanda meletakkan aku di atas pangkuannya dan berkata lagi:
"Wahai puteriku, tidakkah engkau lihat apa yang telah dijanjikan Allah kepadamu dan yang akan engkau perolehi?"

Ayahanda menunjukkan istana-istana yang disaluti bermacam-macam hiasan yang indah menawan serta berkilau-kilauan, saujana mata memandang. Ayahanda berkata: "Inilah tempat tinggalmu, kediaman suamimu, kedua-dua anakmu serta orang-orang yang mencintaimu dan mencintai mereka. Bergembiralah... engkau akan mengikut ayahanda datang ke sini beberapa hari lagi..."

Aku berkata: "Kalau begitu senanglah hatiku dan bertambah rindu pada ayahanda."
Selepas berjumpa beberapa ketika dengan ayahanda, aku terjaga. Tubuhku menggigil dan terasa takut yang amat sangat. Aku masih teringat-ingat bisikan ayahanda. Aku akan mengikut langkah ayahanda beberapa hari lagi. Aku masih ingat ayahanda berkata perkara yang sama sebelum wafat. Ayahanda pernah membisikkan bahawa akulah orang pertama yang menyahut panggilan Ilahi selepasnya.

Sejak hari ayahanda wafat lagi aku selalu menangis dan bersedih. Perasaan sedih makin terasa selepas bermimpi bertemu ayahanda. Aku tahu tidak lama
lagi aku akan meninggalkan dunia fana ini untuk bersama ayahanda tercinta di akhirat yang kekal, aman dan sentosa.

Aku menceritakan mimpi tersebut pada suamiku dan juga pembantuku Asma binti Umays. Aku beritahu saat ajal hampir tiba. Asma menunjukkan pelepah kurma basah untuk membuat usungan seperti yang dilihat dibuat di Habshah.

Aku tersenyum apabila melihat keranda itu. Aku berwasiat supaya jenazahku nanti dikebumikan pada malam hari agar tiada seorang pun yang marah apabila melihat jenazahku. Aku juga meminta suamiku supaya menikahi Umamah, saudara perempuanku. Umamah menyayangi anakku seperti aku menyayangi mereka.

Setelah merasa saat ajal hampir tiba aku membawa dua orang anakku menziarah makam ayahanda. Tubuhku terasa sangat lemah untuk memijak. Tapi aku gagahi juga untuk bersembahyang dua rakaat antara mimbar dan makam ayahanda.

Tidak lama lagi jasadku akan berpisah dengan roh. Aku akan meninggalkan dua puteraku. Lalu aku peluk dan cium kedua-duanya bertubi-tubi. Sayang, ibumu terpaksa pergi dulu...

Selamat tinggal sayangku, puteraku dan suami tercinta. Biarlah aku menghadap Ilahi tanpa tangisan sesiapa. Aku tidak sanggup melihat tangisan puteraku dan suamiku. Biarlah mereka berada di sisi makam ayahanda dan suamiku bersembahyang. Kalau boleh aku mahu tinggalkan dunia ini dalam bersujud pada Ilahi.

Aku terus meninggalkan dua puteraku dan membiarkan suamiku bersembahyang di masjid. Aku mengambil ramuan hanuth, sejenis pengawet mayat yang ayahandaku biasa gunakan. Aku siramkan air ramuan itu ke seluruh tubuhku. Kemudian aku memakai kain sisa kapan ayahandaku. Selepas itu sekali lagi aku memanggil Asma binti Umays yang sentiasa mengurus dan merawatku.

Pada Asma aku berpesan, "Wahai Asma, perhatikanlah aku. Sekarang aku hendak masuk ke rumah membaringkan tubuhku sekejap. Jika aku tidak keluar, panggillah aku tiga kali dan aku akan menjawab panggilanmu. Tetapi jika aku tidak menjawab, ketahuilah aku telah mengikut jejak langkah ayahandaku!"

Setelah sejam berlalu, Asma memanggil-manggil nama wanita itu tetapi tiada sebarang jawapan. Ketika penjaga itu masuk, dia terkejut apabila melihat wanita kurus cengkung itu meninggal dunia dalam sujudnya. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun...

***********

Aku dalam cerita di atas ialah Fatimah az-Zahra, anak Rasulullah dengan isteri pertamanya Siti Khadijah. Fatimah meninggal dunia dalam usia 28 tahun setelah 40 hari Rasulullah s,a.w. wafat dan jenazahnya dimakamkan di perkuburan Baqi' di Madinah. Masih adakah wanita solehah seperti Fatimah di zaman moden ini?

Mengapa Perlu Usaha Sedangkan Semuanya Telah Ditentukan ?



Kenapa perlu susah-payah jika semuanya telah pun ditakdirkan? Kenapa harus kecewa sebelum bertemu gembira? Begitu juga para sahabat nabi, mereka pernah bertanyakan soalan yang hampir sama lebih 1400 tahun yang lalu.

Menurut Ali Abi Talib, pada suatu hari ketika para sahabat sedang menghadiri satu pengkebumian, Rasulullah datang dan duduk berhampiran. Para sahabat kemudian duduk mengelilinginya. Beliau menggenggam sebatang kayu kecil sambil menggores-gores tanah. Rasulullah kemudian bersabda, “Setiap daripada kamu yang diciptakan telah pun ditentukan neraka atau syurganya.” Bertanya salah seorang sahabat, “Kalau demikian, apa perlunya kita beramal ya Rasulullah?”

Mendengar sedemikan, Rasulullah bersabda lagi, “Beramallah, setiap orang akan dipermudahkan oleh Allah kepada jalan yang telah ditetapkan oleh-Nya.” Kemudian beliau membaca surah Al-Lail ayat 5 hingga 10” [1]

Di dalam surah Al-Lail ayat 5 hingga 10, Allah telah berfirman, “Adapun orang yang memberikan (menafkahkan hartanya) apa yang ada padanya ke jalan kebaikkan dan bertakwa (mengerjakan suruhan Allah dan meninggalkan segala laranganNya). Dan dia mengakui dengan yakin akan perkara yang baik. Maka sesungguhnya Kami akan memberikannya kemudahan untuk mendapat kesenangan (syurga). Sebaliknya orang yang bakhil (daripada berbuat kebaikkan) dan berasa cukup dengan kekayaan dan kemewahannya. Dan dia mendustakan perkara yang baik. Maka sesungguhnya Kami akan memberikannya kemudahan untuk mendapat kesusahan dan kesengsaraan. ”

Begitulah penjelasan nabi ke atas pengertian takdir dan amalan manusia. Beliau tidak menyuruh para sahabat mempersoalkan ketentuan tuhan, sebaliknya menyuruh mereka memberi fokus kepada usaha dan amalan semata-mata.

Firman Allah di dalam Surah Al-Mulk ayat 2, “Dia lah yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup (kamu) – untuk menguji dan menzahirkan keadaan kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya;”

Hidup ini adalah untuk berusaha dan beramal, bukan untuk mempersoalkan takdir.
Wallahu’alam.

SABDA Rasulullah s.a.w.: “Pada akhir zaman nanti akan ada satu golongan yang berbuat maksiat, kemudian mereka berkata: “Allah s.w.t. telah mentakdirkan kami melakukan perbuatan ini.” Orang yang menentang pendapat mereka (pendapat yang salah) pada zaman itu bagaikan orang yang menghunuskan pedangnya fi sabilillah.” (Riwayat Jabir).
Sejak sekolah rendah lagi kita diajar supaya beriman dan percaya kepada Rukun Iman yang enam. Di antara yang enam itu ialah percaya kepada takdir yang baik dan buruk daripada Allah s.w.t.

Sebagai Muslim kita wajib percaya bahawa segala sesuatu sama ada yang buruk atau baik, semuanya dengan pengetahuan Allah s.w.t.

Namun ia tidak bermaksud takdir itu suatu paksaan daripada Allah s.w.t. ke atas hamba-Nya yang terpaksa mengikuti apa sahaja yang telah digariskan-Nya.

“Takdir itu sebenarnya suatu pemberitahuan bahawa Allah s.w.t. mengetahui apa sahaja yang ada dalam perbuatan setiap insan. Dan ia timbul menurut takdir yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t. sesuai dengan asal ciptaan-Nya, iaitu tentang baik dan buruk-Nya,” kata Imam Al-Khattabi.

Pengetahuan Allah s.w.t. Yang Maha Mengetahui ini, menurut Sayid Sabiq pula sedikit pun tidak akan memberi bekas atau kesan, dan tidak mempengaruhi kehendak seorang hamba itu. Ini kerana mengetahui itu merupakan sifat yang menyingkapkan atau menjelaskan sesuatu, bukan sifat yang memberikan kesan atau pengaruh.

Contohnya, Seorang ayah mengetahui bahawa anaknya adalah seorang yang cerdik dan pandai, tetapi pengetahuan seorang ayah tentang kecerdasan anaknya tersebut tidak akan dapat menolong anaknya lulus dalam peperiksaan yang akan ditempuhnya.

Oleh kerana itu kita tidak boleh berdiam diri dan menyerahkan semuanya kepada takdir tanpa berusaha lebih dahulu, kerana kita tidak tahu dengan pasti apakah takdir yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. untuk kita nanti. Penafsiran yang salah mengenai pengertian takdir ini pernah berlaku dalam zaman pemerintahan Khalifah Umar al-Khattab.

Seorang pencuri yang telah tertangkap dibawa ke hadapan Khalifah untuk disoal siasat

Ketika Khalifah bertanya kepada pencuri itu, “Kenapa kamu mencuri?” Dia menjawab, “Allah telah mentakdirkan perbuatan ini padaku.”

Mendengar jawapan pencuri tersebut, khalifah menjadi marah dan memerintahkan supaya hukuman segera dijatuhkan kepadanya.

“Sebatlah pencuri ini sebanyak tiga puluh kali kemudian potong tangannya,” perintah khalifah.

Orang ramai yang berada di situ terperanjat dan merasa hairan dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Umar. Seorang di antara mereka bertanya: “Mengapa begitu berat sekali hukumannya?”

Umar menjawab “Itulah hukuman yang paling layak untuknya. Tangannya mesti dipotong kerana dia telah mencuri. Dan dia mesti disebat kerana telah berdusta atas nama Allah (mengenai takdir).”

Sayid Sabiq menjelaskan, takdir tidak boleh dianggap sebagai jalan untuk bertawakal tanpa berusaha dan dijadikan sebab untuk melakukan kemaksiatan.

Bahkan adalah salah sama sekali, jika kita menganggapnya sebagai suatu paksaan daripada Allah kepada hamba-Nya.

Sebaliknya takdir haruslah dianggap sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan yang besar daripada sekian banyak amal perbuatan yang besar pula.

Sesuatu yang telah ditakdirkan kepada seseorang dapat ditolak dengan takdir yang lain. Contoh yang paling mudah ialah apabila kita merasa lapar, maka takdir rasa lapar ini dapat dilawan dan ditolak dengan takdir makan.

Begitu juga takdir sakit dapat ditolak dengan takdir pengubatan diri sehingga sihat kembali dan seterusnya.

Dalam hal ini Abu Ubaidah al-Jarrah pernah bertanya kepad Umar al-Khattab ketika Umar keluar dari sebuah negeri, menyelamatkan dirinya daripada penyakit taun: “Mengapa tuan lari daripada takdir Tuhan?” Umar menjawab, “betul saya memang lari daripada takdir Allah untuk pergi kepada takdir Allah pula.”

Maksudnya di sini, Umar menghindarkan dirinya daripada takdir terkena penyakit dan menuju kepada takdir yang lain, iaitu takdir tetap sihat walafiat.

Rasulullah s.a.w. juga selalu memohon kepada Allah s.w.t. dan meminta perlindungan-Nya daripada kesengsaraan, kesedihan, kemalasan dan sebagainya.

Ini kerana orang yang hanya berdiam diri tanpa usaha, dengan membuat alasan “Sudah takdir Tuhan”, sebenarnya tergolong dalam kaum yang lemah dan putus asa.

Keimanan kepada takdir merupakan suatu kekuatan yang dapat membangkitkan kegiatan bekerja dan keghairahan berusaha, malahan menjadi dorongan yang positif untuk memperoleh kehidupan yang layak dan pantas di dunia, kata Sayid Sabiq.

Dengan kepercayaan ini seorang manusia akan dapat menghadapi setiap kesukaran dengan hati yang tabah dan berani, kerana setiap takdir yang datang dapat ditolaknya dengan takdir lain pula.

Pemahaman dan pengertian mengenai takdir ini cukuplah kita fahami secara umum berdasarkan keterangan al-Quran dan sunah rasul-Nya. Sedangkan apa yang ada di sebaliknya merupakan rahsia Allah yang tidak akan dapat dicapai oleh akal fikiran manusia yang cetek.

Rasulullah s.a.w. memberi peringatan kepada kita supaya menghindarkan diri daripada membahaskan masalah yang ada di sebalik takdir, sebagaimana yang diceritakan oleh Abu Hurairah r.a.

Ketika para sahabat berkumpul membincangkan dan berselisih pendapat mengenai takdir, tiba-tiba baginda s.a.w. datang menghampiri mereka.

Sebaik sahaja baginda mengetahui pokok perbincangan yang sedang diperdebatkan ketika itu, wajahnya menjadi merah kerana terlalu marah. Nabi bersabda: “Untuk inikah aku diutuskan kepada kamu semua? Sebenarnya yang menyebabkan rosaknya keyakinan orang-orang yang sebelum kamu dulu, ialah ketika mereka memperdebatkan persoalan ini. Aku berharap sangat supaya kamu semua tidak memperdebatkan lagi hal semacam ini.”

Oleh kerana itulah setelah kejadian tersebut, Abu Hurairah selalu menghindarkan diri daripada pertanyaan-pertanyaan yang rumit dan perbahasan yang mendalam mengenai takdir.

Apabila ditanya, beliau akan menjawab “itu jalan yang gelap, jangan anda lalu di situ.” jika ada yang bertanya lagi, beliau menjawab, “itu laut yang sangat dalam, jangan anda terjun ke dalamnya”, dan jika ada juga yang memaksanya supaya menerangkannya, dia menjawab “itu adalah rahsia yang dimiliki oleh Allah Taala, oleh itu janganlah anda cuba menyingkapnya.”

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...